Mengatasi Generation Gap dalam Kepemimpinan: Dari Rumah ke Kantor, dari Remaja hingga Tim Kerja
Dalam dua dekade pengalaman saya sebagai seorang Leadership & Business Transformation Consultant, baik internal sebagai team People & Culture maupun saat sudah berkarir sebagai external Consultant, satu hal yang selalu muncul dalam sesi coaching, pelatihan, maupun konsultasi adalah ini:
“Saya merasa tidak nyambung dengan tim saya yang jauh lebih muda…”
atau sebaliknya,
“Atasan saya seperti hidup di masa lalu. Kami tidak pernah didengar.”
Itulah fenomena generation gap—jurang pemahaman yang terjadi antar generasi, baik dalam keluarga maupun organisasi. Tapi apakah perbedaan ini harus menjadi sumber konflik?
Jawabannya: TIDAK!!
Dulu Saya Anak, Kini Saya Coach & Leader
Saya tumbuh dalam keluarga dengan didikan orang tua yang tegas tapi demokratis. Saat remaja, saya sering merasa mereka tidak paham dunia saya. Tapi waktu membawa saya ke peran baru: sebagai pemimpin tim lintas generasi di korporasi, sebagai tante dari keponakan-keponakan remaja, dan sebagai coach untuk para pemimpin yang menghadapi tantangan serupa.
Dari perjalanan itu saya belajar: generation gap bukan masalah usia. Ini soal cara pandang, komunikasi, dan kemauan untuk saling mengerti.
👥
Untuk Anda Para Pemimpin: 5 Strategi Menjembatani Jurang Generasi
Berbagi Pengalaman, Bukan Menggurui
Sebagai pemimpin, pengalaman kita sangat berharga. Tapi cara menyampaikannya menentukan apakah itu akan jadi inspirasi atau resistensi. Ubah gaya bercerita Anda: dari “saya lebih tahu” menjadi “ini yang pernah saya alami, bagaimana menurutmu?”
Bangun Relasi Seperti Rekan
Jangan biarkan struktur organisasi menjauhkan kita dari tim. Tunjukkan bahwa Anda menghargai pendapat mereka. Dalam coaching, saya selalu mengajarkan pemimpin untuk lead with empathy and equal respect.
Kesalahan Itu Proses Belajar
Pemimpin yang efektif memahami bahwa kesalahan bukan akhir dari segalanya. Tugas kita adalah menganalisis penyebab, bukan menghukum. Bangun budaya feedback dan psychological safety.
Adaptasi dengan Cara Mereka Berpikir dan Bekerja
Gen Z dan milenial lebih nyaman dengan komunikasi digital dan visual. Jika kita tetap kaku dengan cara kerja lama, kita akan ditinggal. Transformasi bisnis bukan hanya soal tools, tapi juga mindset agility.
Berikan Kepercayaan dan Arah
Kepercayaan adalah kunci. Tapi trust bukan berarti dilepas tanpa bimbingan. Ini tentang coaching, bukan controlling. Dalam setiap perubahan organisasi yang saya fasilitasi, trust-based leadership menjadi fondasi utama.
👶 Untuk Anda yang Baru Masuk Dunia Kerja: 4 Prinsip Menyikapi Senior
Sebagai Coach, saya juga sering berbicara di depan mahasiswa, fresh graduates, hingga tim junior. Berikut yang saya sampaikan:
Belajarlah dari Pengalaman Senior
Mereka bukan selalu benar, tapi mereka punya konteks dan pelajaran hidup. Dengarkan dulu sebelum menyanggah.
Pahami Akar Sejarah
Bukan untuk terjebak masa lalu, tapi untuk mengerti why-things-are-the-way-they-are. Ini penting dalam perubahan budaya perusahaan.
Hadapi Kekhawatiran Mereka dengan Solusi
Senior sering terlihat “takut perubahan” karena mereka pernah gagal atau terluka. Tunjukkan rencana, data, atau progress Anda—buat mereka merasa aman untuk mendukung.
Bangun Kepercayaan Dua Arah
Jika Anda ingin dipercaya, mulailah dengan menunjukkan bahwa Anda bisa bertanggung jawab. Earn the trust, and return the trust.
Sebagai Coach, Apakah Saya Sudah Sempurna? Tentu Belum.
Saya pun masih belajar. Tapi sebagai pemimpin dan trainer, saya percaya bahwa yang paling penting adalah kemauan untuk mendekat, mendengar, dan tumbuh bersama.
Generation gap tidak akan hilang, tapi bisa dijembatani. Dan jembatannya adalah kesadaran, komunikasi, dan kepercayaan.